APENSO INDONESIA

header ads

ENTREPRENEUR KAMPUS

ENTREPRENEUR KAMPUS

Oleh: Gempur Santoso

(Gubes Ergonomi K3, Teknik Industri, Umaha Sidoarjo)


Jelas akan banyak yang menyetujui bahwa jiwa entrepreneur bukan jiwa memeras orang lain. Atau, bukan berjiwa menjajah orang lain.

Jiwa entrepreneur. Bukan pula jiwa "pengemis". Kemana - mana membawa proposal - "minta sumbangan". Pun ada ajaran "tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah" (artinya memberi lebih baik dari pada ngemis).

Jiwa entrepreneur adalah jiwa yang saling membutuhkan. Saling memberi dan saling merima (take and give). Ada transaksi, saling menguntungkan, saling membutuhkan.

Ada yang mendefinisikan entrepreneur adalah individu yang bisa menciptakan bisnis yang baru, bersedia menanggung risiko besar, dan sebagai imbalannya bisa menikmati sebagian besar keuntungannya.

Jelas, bahwa jiwa entrepreneur merupakan jiwa bisnis. Bisa untung dan menikmati keuntungan (mensyukuri nikmat). Semua ada resiko sebagai modal. Artinya tidak ujuk - ujuk mendapat sesuatu keuntungan. Tapi memang ada risiko yang harus diselesaikan dan perlu modal.

Tampak jelas, bahwa jiwa dalam entrepreneur itu "harus pandai menjual" dari pada "pandai membeli - konsumtif". Menjual dalam arti memasarkan (marketing).

Tentu pembeli pun mendapat keuntungan berupa "kebutuhannya terpenuhi". Kebutuhan tidak harus berupa uang. Tetapi, bisa barang, gedung, infrastruktur, sandang, pangan, papan, bisa juga kebutuhan ilmu dan ilmu pengetahuan. Dan lain - lain produk kebutuhan  manusia.

Lembaga pendidikan (sekolahan, kampus dan lain-lain) punya apa? Jawab : Tentu punya ilmu atau ilmu pengetahuan. Apa bisa di-entrepreneur-kan? Jawab: bisa.

Kita tahu bahwa entrepreneurship (kewirausahaan) adalah konsep entrepreneur (bisnis).

Para siswa atau mahasiswa adalah bisa dikatakan "pembeli" ilmu atau ilmu pengetahuan. 

Kenyataannya memang mahasiswa harus membayar (membeli), misal: uang gedung, uang biaya pendidikan. Dibayarkan perbulan atau per semester. Dan membayar lainnya.

Bagi yang mendapat beasiswa, yang membayar proses pendidikan adalah yg memberi beasiswa.

Lembaga pendidikan sebagai "agent of knowledge" mendapatkan "keuangan". Sementara, "pembeli" atau siswa/mahasiswa mendapatkan ilmu dan ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan hidup.

Bahkan, kadang kualifikasi dan kekayaan ilmu dan ilmu pengetahuan tenaga pendidikan (dosen). Dibutukan (laku) di tempat lain, misal: sebagai konsultan, nara sumber dan sebagainya.

Laku tidaknya sangat tergantung dari kemampuan entrepreneur ataupun marketing. Bahwa harus tahu siapa yang membutuhkan. 

Untuk mengetahui yang membutuhkan. Tentu mampu menggali "demand" kebutuhan tak tampak. Itu ada di masyarakat.

Kampus, utamanya kampus swasta tampak perlu adanya bagian entrepreneur sekaligus marketing kampus. Semua itu, tentu harus ada perencanaan by data. Kampus negeri tampak perlu juga, walau perguruan tinggi negeri masih menjadi idola diburu calon mahasiswa baru.

Semoga semua sehat selalu...aamiin yra.

(GeSa)







Posting Komentar

0 Komentar