APENSO INDONESIA

header ads

BERTAHAN HIDUP DI PINGGIRAN

BERTAHAN HIDUP DI PINGGIRAN


Oleh: Gempur Santoso


Pinggiran (marjinal). Ini perbatasan Surabaya dan Sidoarjo bagian pinggiran. Berkembang, semi kota, semi desa.

Dulu, sekitar duapuluh lima tahun lalu. Pencaharian orang pinggiran lebih banyak sebagai petani. Sebagian tukang bangunan. Sebagian kecil pegawai di pabrik.

Jarang rumah. Memiliki tanah rumah, luas. Setiap rumah ada kebun dan halaman. Tanah kosong (kebun) masih ada banyak. Pohon gayam dimana mana. Buah gayam tinggal luru (buah gayam jatuh bebas diambil). Tidak beli, bahkan kadang gratis diberi oleh tetangga.

Daerah pinggiran. Tinggal di pedesaan, kebutuhan apa saja seperti perkotaan, termasuk harga apa saja.

Hasil kelas desa, kebutuhan dan harga ikut kelas perkotaan. Tentu menjadi nothil nothil (keberatan) mengejar memenuhi kebutuhan.

Sering terjadi. Jual tanah untuk membeli sepeda motor, televisi dan lain lain. Dianggap barang mewah. 

Saat itu. Harga tanah pun tidak mahal. Sekitar rp. 17 ribu hingga Rp. 25 ribu per meter persegi.

Anggap saja, tanah untuk anak cucu tidak menjadi kesulitan. Tidak menjadi masalah. Saat itu.

Waktu terus berlalu. Muncul kebijakan otonomi daerah (otoda).  Bagus.  Berbagai jalan desa. Jalan kampung. Jalan gang kecil. Semua dipaving. Hampir kerja bakti urunan material untuk jalan tidak ada. Semua sudah dicover pemerintah daerah (pemda), melaluai proposal, diajukan.

Berbondong bondong orang "pendatang" ke desa marjinal. Membeli tanah untuk rumah tinggal. Untuk membuat kos-kosan rumah petak. Dan, berbagai keperluan pakai tanah pomahan (untuk rumah/bangunan).

Harga tanah semakin merangkak naik. Saat itu bisa seratus ribu per meter persegi. Terus melonjak harga tanah. Kini harga tanah berkisar Rp.2 juta hingga Rp. 3 juta per meter persegi. Sampai pinggir sungai (tangkis) dipakai jalan. Tanah sebelah sungai sudah dibeli pendatang.

Sampai kini pendatang semakin banyak. Jumlah hampir separo dari seluruh penduduk desa. Terus bertambah. Semua sebetulnya pendatang dunia. Hanya saja ada yang leluhur di desa ini, ada yang tidak. Leluhur tak di desa ini disebut "pendatang". Tak apa tetap rukun.

Ada kisah. Sekeluarga. Ini sekeluarga. Dulu serumah. Putra putrinya masih bujang. Kini semua sudah berkeluarga. 

Jangan sampai beberapa keluarga dalam satu rumah. Maka, putra putinya yg sudah berkeluarga itu, harus berpisah. Harus kontrak rumah di desa itu. Tampak kesulitan membeli tanah. Harga tinggi selangit. Walau titik iyik (asli) nenek moyangnya di desa ini.

Kini, tiap pagi jual gorengan. Ditaruh di angkringan. Keuntungan jual gorengan untuk menyambung hidup. Dibantu sang suami. Dulu suaminya bekerja di pabrik. Entah karena apa. Kini membantu istri.

Tetap bahagia. Tampak bahagia saja. Walau tak punya rumah di desa tanah tumpah darahnya. Terpinggirkan lagi. Termanjinal lagi oleh jaman yang berubah tak disangka.

Tetaplah berfikir, yang gampang jangan digapangkan... Semoga semua tetap besyukur, bahagia, dan sehat selalu.

(GeSa)





 

Posting Komentar

0 Komentar