APENSO INDONESIA

header ads

KEBERANIAN UNTUK MENDIDIK

KEBERANIAN UNTUK MENDIDIK


Oleh : Gempur Santoso


Tetangga saya ini mengeluh. Anaknya sekolah tingkat sekolah dasar. Kelas empat. Sekolah daring (dalam jejaring). 

Tak pernah ke sekolah. Ibuknya merasa kerepotan membantu. Juga, hanya ibunya sebagai teman. 

Waktu masih sekolah banyak teman di sekolahan. Saat istirahat bermain dengan teman - temannya.

Sudah hampir dua semester. Atau, satu tahun. Sekolah daring. Saat daring juga berseragam sekolah. Duduk dihadapan handphone.

Sekolahan ditutup. Sama, kampus pun ditutup. Wajib daring. Akibat keputusan pandemi coronavirus. Itu keputusan WHO (world health organization) perserikatan bangsa - bangsa (PBB). Negara anggota PBB wajib mengikuti.

"Darurat" menyebutnya begitu. Guru/dosen terpisah dengan murid/mahasiswanya. Bisa ketemu lewat online atau daring.

WFH (work for home) menyebutnya. Bekerja dari rumah. Guru berjauhan dengan murid. Tapi harus mengajar.

Banyak pendapat. Dalam mendidik harus utuh : afektif, kognitif, dan psikomotorik. Dalam keadaan pandemi coronavirus ini harus daring. Hal itu tidak bisa optimal. Hanya bisa membentuk kognitif. Itu pun tidak optimal.

Murid tidak ketemu guru. Ingat dulu. Teman saya pun pernah bercerita. Saat zaman Belanda. Anak - anak pribumi tidak boleh sekolah. Anak pribumi diajari hidup oleh orang tua. Dan belajar dari lingkungannya.

Anak pribumi "tidak pernah makan sekolahan". Artinya tidak pernah sekolah.

Apa yang terjadi? Tentu anak pribumi banyak yang "bodoh" ilmu dan pengetahuan.

Atas prakarsa "pondok pesantren". Pendidikan non formal. Tanpa ijazah. Anak pribumi belajar di pesantren.

Tentu saja. Pendidikan pesantren. Tidak bisa dibubarkan oleh pemerintah Belanda, penjajah. Karena pendidikan tanpa izin, tanpa ijazah. Tidak ada konflik dengan pemerintah Belanda. Mungkin juga pemerintah Belanda tidak tahu.

Utamanya anak - anak pribumi bisa "pandai" ilmu dan pengetahuan. Tahu wilayah Indonesia. Tahu punya negara. Tapi dijajah. Belandalah penjajah. Saat itu.

Itu prakarsa para guru (kyai) pondok pesantren agar ketemu guru dan murid. Belajar mengajar. Perlu keberanian. 

Anak - anak pribumi bisa belajar. Tidak gagal pendidikan. Terbentuk dalam paradigma pikiran "bersatu". Melalui ilmu pengetahuannya. 

Saat itu. Hampir semua pendidikan non formal. Jelas tidak bisa dibubarkan. Hanya belajar saja. Anak - anak pribumi belajar ke guru. Bertemu. Tatap muka. Kapan pun, tidak formal.

Bagaimana dengan saat ini? Tanpa tatap muka antara guru dan murid. Perlu terobosan.

Harap maklum. Sudah dinyatakan "pandemi coronavirus". Darurat.

Cari terobosan agar anak - anak  ini tidak gagal pendidikannya alias anak - anak Indonesia tetap bisa cerdas. Kaya ilmu dan pengetahuan. Perlu keberanian. Walau tetap harus mengikuti pemerintah, patuh aturan termasuk protokol kesehatan.

Semoga semua sehat dan cerdas....aamiin yra.

(GeSa)



Posting Komentar

0 Komentar