APENSO INDONESIA

header ads

MEMBOLOS

MEMBOLOS


Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar ITS Surabaya



Banyak yang tidak menyadari bahwa persekolahan massal telah dipaksakan atas sistem pendidikan nasional sejak Orde Baru 50 tahun silam. Persekolahan massal paksa ini merupakan instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga buruh trampil tapi murah dalam menyambut kehadiran investor, terutama asing sejak penerbitan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Begitulah Freeport, Chevron, Shell dkk masuk ke Indonesia menguras sumberdaya alam kita hingga hari ini.  

Sejak reformasi 20 tahun silam, melalui pemalsuan UUD1945 yang berPancasila menjadi UUD2002 yang liberal kapitalistik, pemerintah lebih serius menjadikan persekolahan ini menjadi proyek pemburuhan massal besar-besaran untuk memastikan ketersediaan buruh trampil dan murah bagi investor asing.  

Persekolahan tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi disiapkan sebagai strategi untuk menyiapkan budaya buruh yang dibutuhkan bagi kepastian dan keamanan investasi. Investasi tidak cuma membutuhkan penyederhanaan perijinan, tapi terutama membutuhkan buruh trampil murah. Tujuan persekolahan adalah untuk menyiapkan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk menerima apapun kebijakan perusahaan dan pemerintah. UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan baru-baru ini adalah instrumen pamungkas untuk melakukan penjongosan besar-besaran atas masyarakat Indonesia. 

Beberapa hari ini, para buruh yang dibersamai mahasiswa serta pelajar telah cukup berani untuk melepaskan diri dari mentalitas buruh dengan melakukan unjuk rasa menolak UU Cipta Jongos ini. Mahasiswa dan pelajar berani membolos untuk melakukan demo membersamai buruh dengan resiko kena gas air mata, penthungan aparat dan peluru karet. Jika selama pandemi ini para pelajar dan mahasiswa dipaksa membolos karena harus belajar dari rumah maka gerakan membolos beberapa hari ini memiliki dimensi budaya dan politik yang sangat berbeda dan penting dalam sejarah Indonesia kontemporer. 

Bersembunyi di bawah slogan profesionalisasi, sekolah dan guru serta kampus dan dosen selama ini seringkali cukup dungu untuk tidak menyadari bahwa institusi kebanggaan mereka ini telah diperalat oleh kekuasaan untuk mengabdi pada kepentingan investor, terutama asing. Bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sikap diamnya menghadapi proses pembusukan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat mengherankan. Baru sehari kita mendengar pernyataan sikap para guru besar yang menolak UU Penjongosan ini. Hampir-hampir peran universitas sebagai simpul peringatan dini bencana sosial nyaris lumpuh jika bukan gagal. 

Adalah sekolah dan kampus yang menjadi mesin produksi jongos secara terstruktur, sistemik, dan masif. Kita sering membenarkan keberadaan sekolah dan kampus begitu saja seolah misinya suci dan mulia. Obsesi pertumbuhan tinggi dengan pemburuhan selama 50 tahun terakhir ini saja sudah cukup membuktikan kegagalan model pembangunan yang diadopsi selama ini, penjongosan massal oleh UU Cipta Jongos kali ini bakal sangat memperbudak bangsa ini di masa depan. 

Untuk itu, penting bagi pelajar dan mahasiswa menyadari untuk berani membolos paling tidak untuk beberapa hari ini. Para mahasiswa bisa segera meminta rektor-rektor mereka untuk berhenti bersikap abai, sok profesional dan world-class, tapi tidak peduli dengan kemerosotan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin berbahaya.  

Pada saat pendidikan politik sengaja diabaikan oleh partai politik, maka unjuk rasa menolak UU Ciptajongos ini tidak saja sah dan konstitusional tapi sekaligus pembelajaran politik kewarganegaraan yang penting. Keberanian pelajar dan mahasiswa untuk membolos akan mengubah sejarah Indonesia modern. 

Rosyid College of Arts, 
Gunung Anyar, 9/10/2020




Posting Komentar

0 Komentar