APENSO INDONESIA

header ads

DILEMA PENDIDIKAN VOKASI

DILEMA PENDIDIKAN VOKASI


Oleh : Warsono
Guru Besar & Mantan Rektor UNESA


   Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang, karena merupakan proses untuk merubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mampu menjadi mampu dan dari tidak mau menjadi mau. Secara konseptual pendidikan dibedakan menjadi pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. 

Pendidikan akademik adalah pendidikan yang lebih menekankan kepada kemampuan berpikir dan penguasaan teori. Pendidikan profesi merupakan kelanjutan dari sarjana. Pendidikan profesi mensyaratkan lulus sarjana terlebih dahulu baru melanjutkan ke pendidikan profesi. Sedangkan, pendidikan vokasi adalah pendidikan yang menekankan kepada keahlian praktikal yang dibutuhkan untuk langsung terjun ke dunia kerja. 

   Pendidikan vokasi jelas diarahkan untuk membekali anak agar siap terjun ke dunia kerja, sehingga mereka mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika setiap warga negara mampu mandiri dalam arti mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, apalagi bisa surplus, maka negara akan makmur. Negara tidak lagi harus mensubsidi kebutuhan warga negaranya.

Secara ekonomis, setiap individu adalah produsen dan konsumen. Sebagai konsumen, setiap individu mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, minimal kebutuhan dasarnya, seperti makan, minum, sandang dan papan. Namun, setiap orang juga mampu melakukan produksi (bekerja), untuk menghasilkan barang dan jasa. 

Jika tingkat produktivitas individu lebih rendah dari tingkat konsumsinya, maka yang bersangkutan akan menjadi beban orang lain atau negara. Tetapi jika individu memiliki tingkat produksi lebih tinggi dari tingkat konsumsinya, maka akan mampu mewujudkan kesejahteraan, minimal bagi dirinya sendiri.

Persoalannya adalah bagaimana setiap individu melakukan produksi (sebut saja bekerja)?. Modal apa yang digunakan untuk bekerja?. Jika kita kaji dari modal yang digunakan ada tiga golongan pekerjaan, yaitu yang menggunakan fisik, keterampilan (skill) dan intelektual. Pekerjaan yang mengandalkan fisik, seperti kuli bangunan atau tukang becak tentu tidak membutuhkan pendidikan, cukup dengan pengalaman. Tenaga kerja kategori ini disebut dengan unskill labour

Pekerjaan yang menggunakan keterampilan, seperti mekanik, teknisi, operator minimal membutuhkan pelatihan. Tenaga kerja kategori ini disebut dengan trained labour. Sedangkan, pekerjaan yang menggunakan intelektual jelas membutuhkan pendidikan. Tenaga kerja kategori ini dikenal dengan tenaga kerja terdidik (skill labour).

   Dari ketiga golongan pekerjaan tersebut membentuk piramida yang bentuknya bisa digerakkan melalui pendidikan. Semakin banyak warga negara yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, negara akan semakin maju karena memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan menjadi faktor penting bagi kemajuan bangsa.

Mereka yang bekerja dengan menggunakan keterampilan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari mereka yang menggunakan modal fisik. Sedangkan, mereka yang bekerja dengan modal intelektual memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari pada yang menggunakan keterampilan. Sehingga, mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga memiliki tingkat kemandirian yang lebih tinggi.

Sayangnya tingkat pendidikan tenaga kerja kita (Indonesia) masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP. Menurut data BPS tahu 2019, tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia 40,51% adalah lulusan SD dan 17,75 adalah lulusan SMP. Kemudian disusul oleh mereka yang lulusan SMA sebesar 17,66% dan SMK sebesar 11,31%. Tenaga kerja yang lulusan Diploma hanya 2,82% dan yang lulusan Perguruan Tinggi sebesar 9,75%. 

Dengan kondisi seperti ini, kita tentu akan menghadapi masalah ketika menghadapi revolusi industri 4.0. Dengan tingkat pendidikan yang rendah mereka akan sulit untuk memasuki lapangan kerja yang membutuhkan skill tinggi yaitu pada penguasaan teknologi cerdas. Tenaga kerja yang banyak dibutuhkan adalah mereka yang selain menguasai teknologi juga memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi. 
    
   Yang lebih memprihatinkan adalah dari angkatan kerja yang ada yang ada tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi adalah lulusan SMK yaitu 8,63%. Disusul oleh lulusan Diploma yaitu 6,89% dan SMA sebesar 6,78% serta perguruan tinggi sebesar 6,24%. (sumber Indonesiabaik.id). Pernyataannya adalah mengapa TPT lulusan SMK justru lebih tinggi dari SMA, padahal mereka dididik dan dilatih untuk siap bekerja. Berbeda dengan lulusan SMA yang memang dimaksudkan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. 

SMK merupakan pendidikan vokasi (kejuruan) yang disiapkan untuk bekerja dengan skill tertentu sesuai dengan keahlian yang dirumuskan dalam kurikulum sekolah. Tingginya TPT lulusan SMK menunjukan bahwa kompetensi mereka belum sesuai dengan yang dibutuhkan di dunia kerja. Pendidikan vokasi membutuhkan peralatan atau laboratorium sebagai sarana untuk mengasah keterampilan. 

Peralatan tersebut harus sesuai dengan perkembangan teknologi yang terbaru, sehingga ketika memasuki dunia kerja tidak ketinggalan. 
Tuntutan ketersediaan peralatan atau laboratorium atau bengkel dengan teknologi terbaru ini yang menyebabkan biaya pendidikan SMK jauh lebih mahal dibanding dengan SMA. Sementara, SMK swasta tentu memiliki keterbatasan dana untuk menyediakan peralatan lab atau bengkel. 

Anjuran untuk melakukan kerjasama dengan dunia industri dalam rangka meningkatkan skill juga belum berjalan seperti yang diharapkan. Akibatnya, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan peralatan. Jika mereka sudah terampil, namun teknologi yang mereka kuasai sudah tidak sesuai dengan yang ada di dunia kerja.   

Pada era revolusi industri 4.0 tentu lebih banyak dibutuhkan tenaga kerja yang memiliki skiil tinggi dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap memasuki revolusi industri 4.0 jelas tidak murah. Pendidikan vokasi harus didukung dengan peralatan yang terbaru agar mereka bisa mengasah keterampilannya sesuai dengan yang dibutuhkan di dunia kerja. Di sisi lain, mereka juga harus memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Tuntutan seperti ini jelas sangat berat bagi sekolah swasta. 

Oleh karena itu, jika pemerintah tidak secara sungguh-sungguh menyiapkan lembaga pendidikan vokasi dengan baik, yaitu melengkapi dengan peralatan yang terbaru sesuai dengan spesifikasinya masing-masing, pendidikan vokasi hanya akan menghasilkan ijazah, tetapi tanpa kompetensi. Berharap dari swasta untuk menyelenggarakan pendidikan vokasi yang baik, jelas sangat sulit, karena mereka memiliki keterbatasan dana. 

---------





Posting Komentar

0 Komentar