APENSO INDONESIA

header ads

MANUSIA NASIONALIS CERDAS PIAWAI, INDONESIA MENANG

MANUSIA NASIONALIS CERDAS PIAWAI, INDONESIA MENANG



Oleh: Prof. Dr. Gempur Santoso, M.Kes
Direktur LPIK Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Managing Director Asosiasi Pendidikan dan Sosial (APENSO) Indonesia
AWAL bumi dibuat oleh Tuhan sudah globalisasi. Dunia bumi hanya satu. Nabi Adam dan Hawa saja penghuninya. Selanjutnya beranak pinak. Manusia makin banyak, berkelompok-kelompok. Membentuk berbagai negara. Jumlah negara makin banyak.
Indonesia saja bagain dari nusantara melayu. Indonesia kebagian wilayah sebagian dari jajahan Belanda. Malaysia bekas jajahan Inggris, dan sebagainya. Kemudian, ada ide globalisasi lagi. Ingin menjadikan satu dunia, walau terdiri beberapa negara.
Globalisasi disempurnakan dengan peralatan dan aturan. Perjanjian dagang ada AFTA, WTO dan sebagainya. Peralatan, ditemukan frekuensi udara, satelit seperti Palapa, handphone, internet dan aplikasinya. Kini, semua bisa melihat dan tahu berita sedunia. Seakan menjadi dunia tanpa batas.
Sampai kini, pembayaran dan perdagangan pun menggunakan internet (e-money). Bahkan, ada pula dompet digital. Orang tak perlu membawa uang riil.
Dunia tanpa batas. Hampir semua menggunakan internet. Politik, sosial, budaya, hankam, perdagangan ekonomi tak lepas internet. Kejahatan pun menggunakan internet, seperti hoax.
Tentu yang konvensional, tradisional juga masih ada. Indonesia diarahkan pengembangan manual tradisional atau ke digital dunia tanpa batas. Itu adalah pilihan.
Dalam dunia tanpa batas. Perlu generasi milenial. Suatu generasi yg menguasai digital dan internet. Perlu generasi yang memiliki intelektual bagus.
Keadaan negeri ini mengalami arus balik. Jumlah intelektual cukup banyak. Sekitar 250 ribu lulusan sarjana tiap tahun. Justru pengangguran semakin meningkat. Pengangguran sarjana menjadi sekitar 630 ribu orang. Ini fenomena. Mengapa?
Intelektual jelas orang yang cerdas. Intelektual adalah orang yang mampu menjalankan/menerapkan ilmu yang dimilikinya.
Tentu saja, intelektual diraih tidak hanya dari kampus. Belajar di luar kampus pun bisa menjadi intelektual.
Pengangguran intelektual lulusan kampus makin menumpuk. Bisa jadi, sarjana lulusan kampus belum sampai menjadi manusia intelektual. Atau, intelektual belum matang. Mungkin sudah cerdas, tetapi ilmunya belum matang. Itu masih jauh dari kepiawaian dalam mejalankan hidup dan kehidupan.
Sementara, intelektual lulusan luar negeri (LN). Mereka banyak bekerja di LN. Tidak balik ke Indonesia.
Sebagian ada yg balik ke negeri sendiri. Ada yg malah terbengkalai. Ada pula yang malah mencaci negeri sendiri. Seharusnya berkontribusi berbuat untuk kebaikan negeri sendiri.
Lebih memprihatinkan lagi. Mereka yang belajar paham asing (LN), malah membuat gerakan menolak dasar negara Pancasila secara halusan. Munculnya teroris, bom bunuh diri dan sebagainya. Memprihatinkan.
Pendidikan Indonesia perlu berbenah. Bagaimana sistem, pendidikan dan pembelajaran yang mampu membentuk manusia Indonesia. Bentuk manusia Indonesia yang nasionalis kebangsaan Indonesia berjiwa Pancasila, memiliki jati diri berakhlak mulia, cerdas, dan piawai menjalankan hidup dan kehidupan. Sehingga, “Indonesia menang”. (GeSa)
Dimuat juga di: Swaranews 21/11/18

Posting Komentar

0 Komentar